Senin, 20 Juli 2009

DIKIE RABANO pada MERAPI 2009

Oleh : Rozalvino

Suatu pagi 13 Juli 2009 saya menerima telpon dari seorang sahabat yang bernama M. Halim (Mak Lenggang), beliau adalah seniman besar music tradisional Minangkabau. Meminta agar dapat hadir mengamati pertunjukan music pada acara Merapi 2009 di desa Lasi, suatu daerah asri di lereng gunung Merapi Sumatera Barat. Semula saya menganggap acaranya biasa saja, sehinga agak terlambat hadir disitu.

Deru semilir angin bagai embun menerpa wajah kerontang yang terbakar teriknya matahari siang itu. Acara telah dimulai, tetapi masih dalam rangka pembukaan dengan sajian tari-tarian tradisional sesembahan siswa Madrasah yang ada di daerah itu. Tampaknya penampilan itu adalah bagian dari pembukaan sejarah baru yang membuat saya terperanjat kaget.

Sumatera Barat perlu berbangga hati, itu yang terbersit dalam pikiran ini, acara utama telah dimulai, satu persatu dentuman rebana menggelegar membelah kesunyian, entah bagaimana tangan-tangan itu bisa menciptakan keindahan yang tiada tara, padahal mereka adalah para petani, muazin di mesjid, pedagang dan berbagai unsur masyarakat yang didalamnya terdapat juga Pegawai Negeri Sipil dan anak sekolahan.

Masyarakat madani yang jauh dari polusi memberi keikhlasan dalam berekspresi, menabuh rebana mengiring irama, mengolah syair dalam melodi, harmoni yang disonan tidak lagi menjadi perusak bunyi, tetapi lebih dari itu mampu mempertegas kesan keseimbangan yang harmonis (Suko Hardjana). Tekhnik vokal yang digunakan tidak seperti biasanya, tetapi lebih ditarik ke rahang dan sedikit cempreng sehingga melahirkan karakter yang spesifik dari pelantun syair-syair kitab gundul ini.

Sedikitpun tidak terkesan campur tangan akademisi dalam komposisi musiknya sehingga terasa natural yang sungguh alami, inilah kekayaan itu, seorang sahabat (Syahril Alek sang Kareografer) pernah memberi PR pada saya untuk mencari “Kapal Emas Berlayar Perak, Tiangnya Suasa, Terbenam di Dalam Lumpur”. Ternyata tidak cukup semalam waktu untuk memikirkan itu, empat tahun sudah saya di Bukittinggi, hari ini saya memperkirakan itulah salah satu jawabnya. Kekayaan dari daratan Luhak Agam yang belum terjamah tangan. Ada banyak peserta di dalam Even ini, diantaranya Grup Pusako Lamo, Merapi Tigo Saiyo, Siriah Congkok, Al-Mukhlisin, Nurul Islam dan Tarusan Sati.

Telah beragam pertunjukan saya amati, termasuk kesenian serupa, tetapi kesenian Dikie Rabano di daerah Lasi kelihatannya punya kekuatan tersendiri, membuat saya terhipnotis berimajinasi. Suatu kesenian yang berangkat dari akar masyarakatnya memang memiliki kekuatan yang dahsyat ketika ditampilkan oleh pemilik budaya itu.

Hingga saat ini dikie rabano tidak pernah tercerabut dari akarnya, yaitu masyarakat Lasi lereng gunung Merapi, sebagai bagian dari ritual keagamaan membuatnya mampu bertahan. Meskipun demikian, kalangan pecinta seni dan budaya tradisi cukup khawatir memandang ke depan, sanggupkah dikie rabano bertahan dalam globalisasi? Lomba dikie rabano pada MERAPI 2009 adalah jawaban dari kegelisahan itu.

Drs Adhi Krisna M.Ed dosen STSI Padangpanjang pernah bicara, kita tidak butuh lagi dialog seni maupun budaya, tetapi yang penting adalah kerja nyata dan bukan sekedar wacana. Jika kita amati apa yang terjadi pada MERAPI 2009 tampaknya kearifan lokal sudah mendasari kerja nyata pemerintah daerah Kecamatan Canduang, sebagai wilayah baru pemekaran kecamatan di Kabupaten Agam, kecamatan ini sudah membuat terobosan baru yang di dukung oleh Bupati Agam dan Walikota Bukittinggi, itu nilainya sangat mahal dan tidak bisa diimbangi oleh acungan jempol belaka. Dibawah komando saudara Yohardi seluruh masyarakat berpartisipasi aktif dan merasa memiliki acara yang dikonsep sebagai media pertahanan seni tradisi.

MERAPI 2009 telah menggoreskan Tinta Emas pada catatan sejarah budaya nasional. Beragam hasil industri rakyat dipajang pada stand pameran bermuatan lokal. Selama lima hari lereng Merapi nan asri menjadi kantong wisata sajian tradisi, seperti alek nagari, khatam Alqur’an, MTQ, pencak silat, petatah petitih, dan dikie rabano serta banyak sajian lain sebagai aset budaya.

Merapi menjulang di depan mata, berhias pohon di bawah mega, Badorai menangis bersahaja, minta disapa Dinas Wisata, apalagi yang dinanti, dari jauh tampak terhampar kota Bukittinggi, kota wisata yang terpublikasi. Semestinya agen-agen wisata segera melirik merapi dengan tradisinya yang asli, menjadikan Jogjakarta sebagai perbandingan nyata. Kali Urang di Yogyakarta menjadi tujuan wisata mancanegara, tapi Lasi di Bukittinggi sampai kini masih sepi. Even Merapi 2009 yang diselenggarakan pada 11 hingga 15 Juli 2009 telah memberi angin segar pegunungan asli, menggelar budaya tradisi sebagai aset negeri.

"Saluang Dangdut" Genre Baru Pertunjukan Saluang


Perjalanan Panjang Menuju Popularitas

Oleh: Rozalvino

Fenomena baru dalam dunia kesenian merupakan peristiwa yang wajar, muncul dan hadirnya model-model pertunjukan yang menolak tradisi adalah ciri khas dari teori postmodern.

Pada awalnya, saluang dangdut tidak pernah digelar pada masyarakat pendukung kebudayaan itu, walaupun kaset dan Cd-nya telah banyak diproduksi dan lama beredar, hal ini bisa dimaklumi karena tidak ada grup pendukung yang terbentuk dari kreator musik itu.

Biasanya sebuah pertunjukan lahir diatas ide-ide kreatif pelaku kesenian, yang biasa disebut kreator atau pelaku seni. Kegelisahan para seniman akhirnya melahirkan bentuk-bentuk baru dalam pertunjukannya. Dari berbagai pertunjukan yang telah dilakukan, dapat dijaring saran sebagai masukan untuk kesempurnaan pergelaran di masa datang.

Grup kesenian yang bagus dan akan selalu mendapat sambutan dari banyak penggemar, mereka akan diundang pada berbagai acara, baik partai besar maupun kecil, tidak jarang sebuah grup kesenian ditunjuk oleh lembaga pemerintah atau swasta untuk mewakili daerah dalam iven-iven besar nasional maupun internasional. Hal ini dapat dilihat pada grup-grup seni tradisional yang ada di Sumatera Barat, misalnya Sanggar Sofyani pimpinan Ibu Sofyani dan Yusaf Rahman (almarhum) atau Gumarang Sakti Dance Company pimpinan Boy Gumarang Sakti putra dari Gusmiati Suid (almarhum) serta Sanggar Sangrina Bunda pimpinan Elly Kasim di Jakarta. Perjalanan karir yang panjang dalam proses kreatifitas telah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya, tetapi apa yang mereka dapatkan adalah buah dari suatu usaha yang melelahkan.

Bapak Yusaf Rahman telah memproduksi banyak karya seni musik gaya pop tradisional Minangkabau ke dalam bentuk kaset dan kepingan cd, demikian juga dengan Elly Kasim, perjalanan karir dan popularitas mereka berangkat dari proses kretif pada sanggar seni, dari situ lahirlah tokoh-tokoh yang dikagumi kesenimanannya.

Perjalanan waktu merupakan ruang pembelajaran bagi sebuah sanggar seni sehingga dapat menjaring masukan dari berbagai kalangan, dari pengalaman itu akan lahir karya-karya yang berhubungan dengan masyarakatnya. Kajian teks dan konteks dalam sebuah penciptaan karya sangat kental melekat pada sanggar-sanggar tersebut, mereka sangat memahami situasi dan kondisi, terutama tentang audien yang akan menikmati. Sajian materi pertunjukan selalu mengacu pada konteks penikmat, sehingga hampir tidak ada kata-kata miring mengikuti penampilannya.

Fenomena yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada masa lalu, kekuatan pengaruh revolusi industri telah membatalkan berbagai teori, tentang sebuah perjanan panjang menuju suatu popularitas.

Dari Panggung Menuju Studio

Fenomena yang terjadi saat ini adalah sebagai bentuk penolakan terhadap tradisi yang membumi. Kemajuan teknologi dan industri telah membalikkan kenyataan, pada masa lalu untuk memasuki studio atau dapur rekaman terlebih dahulu harus melewati jalan panjang yang berliku.

Namun apa yang terjadi pada dunia tradisi kita masa kini, sebagai salah satu contoh adalah seni tradisional saluang dendang. Dalam konteks awal, pertunjukan saluang dendang berangkat dari masyarakatnya sebagai sebuah hiburan pada upacara dan pesta adat atau alek nagari, Syawir Sutan Mudo dan Ajis Sutan sati adalah dua tokoh kenamaan yang telah lama malang melintang dalam dunia kesenian saluang dendang.

Kaidah dan estetika dalam pertunjukan saluang dendang sudah tidak asing lagi baginya, dalam hitungan detik mereka sanggup melahirkan pantun-pantun sebagai respon terhadap suasana yang sedang terjadi, dalam berbagai iven mereka diundang untuk mengisi paket acara, biasanya pada malam terakhir atau malam puncak dari suatu rangkaian acara. Kemampuannya tukang dendang melahirkan pantun secara spontan merupakan kunci dari suksesnya pergelaran, banyaknya judul lagu dengan berbagai macam irama, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dipelajari.

Pada awalnya pertunjukan saluang hanya dimainkan oleh kaum pria saja, demikian juga dengan penontonnya, yang ada hanya kaum pria. Pertunjukan dimulai sesudah Isya pukul 21.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB dini hari (menjelang subuh), pertunjukan yang berjalan hingga larut malam sampai pagi dini hari merupakan alasan yang menyebabkan tidak adanya pendendang dari kaum hawa dalam pertunjukan saluang dendang, selain itu kuatnya hukum adat membuat kaum perempuan tidak berdaya, tetapi lambat laun pergeseran nilai-nilai budayapun terjadi.

Tuntutan estetika dalam seni pertunjukan telah membantu berlangsungnya emansipasi wanita dalam kesenian di Minangkabau. Keinginan untuk mewujudkan pertunjukan saluang dalam bentuk pertunjukan yang sempurna telah menciptakan bentuk baru pementasan yang menghadirkan pendendang perempuan. Kehadiran pendendang perempuan telah memberi warna baru yang bisa diterima oleh masyarakat pemilik budaya itu. Perjalan panjang dari proses bergulirnya waktu telah mengantar mereka pada popularitas maksimal sebagai hasil olahan produksi dapur rekaman.

Dari Studio Menuju Panggung

Pergeseran nilai-nilai dalam seni pertunjukan tidaklah berhenti sampai disitu. Kegelisahan para seniman selalu mencari bentuk-bentuk baru sebagai ungkapan kreatifitas, kegelisahan seniman yang semakin memuncak telah membuka dan menutup mata mereka untuk bisa menerobos tembok tradisi sebagai sebuah gaya baru dalam pertunjukan kesenian. Kegelisan para kreator telah menciptakan terobosan baru dalam karya ciptanya, bagaikan mesin pemburu yang dahsyat, karya-karya ini mampu melejit dengan kecepatan tinggi melaju kencang serta dengan mulus dapat mendarat di dunia industri.

Peran serta kaum intelektual dan bisnisman telah menjunjung tinggi hak-hak azazi seniman dalam menciptakan karya. Kemajuan teknologi dan multimedia telah serius mengabdikan diri pada seniman pengkarya, terutama dalam industri musik. Pada saat ini seorang seniman kreator bisa saja mengurung diri dan bermukim di sebuah ruangan kecil ukuran 2 x 2 meter ditemani peralatan sederhana multi media musik. Meskipun sangat sederhana tetapi peralatan teknologi musik akan sanggup menampung seluruh inspirasi pengkarya, jadi bukanlah suatu hal yang mustahil jika dari ruangan itu tercipta berbagai karya monumental masa kini.

Seorang kreator musik bisa saja mencipta, merancang, dan memainkan sendiri karya-karya ciptaannya, hingga mencapai proses final menjadi master dalam bentuk kepingan CD, proses kerja laborat ini dapat dikerjakan sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Tampaknya cita-cita musisi untuk bersolo karier telah terbuka lebar, bahkan orang-orang di luar negeri telah jauh hari memulai itu, sehingga proses pembuatan ilustrasi untuk film tertentu sudah banyak dikerjakan dengan cara seperti ini.

Seorang Komposer kreator musik film tidak perlu lagi melibatkan enam puluh orang pemain orkestra untuk mendukung karyanya, karena lebih dari seribu orang dalam piranti lunak teknologi digital musik telah siaga menunggu perintah kerja dari ujung jari sang komposer, sungguh suatu yang dahsyat, hemat tenaga, waktu dan biaya. Meskipun demikian tentu tidak sedikit kalangan musisi dan penikmat yang tetap idealis bertahan dan mempertahankan konsep manual sebagai suatu kepuasan yang prinsip.

Hal serupa juga terjadi pada kalangan seniman musik tradisional di Sumatera Barat, dari ruang kecil berbekal peralatan digital inilah semua proses kreatifitas dilakukan. Keinginan untuk menggubah dan menciptakan gaya-gaya baru dalam blantika industri musik beralih dari studio menuju panggung hiburan, disinilah eksperimentasi dilakukan. Berbagai percobaan berjalan lancar hingga pada puncak kegelisahan timbul sebuah ide untuk mengolah kembali bentuk sajian saluang dendang.

Dukungan teknologi musik seratus persen membantu kelancaran eksperintasi dan penuangan ide sang kreator, sehingga lahirlah musik-musik baru, baik yang berangkat dari konsep tradisinal maupun hasil eksperimentasi. Saluang Dangdut adalah salah satu jenis karya musik yang lahir dari proses kerja laboratorium itu.

Disamping hasil kerja seniman, yang lebih berperan dalam industri rekaman adalah pihak produser, sehingga karakter musik yang akan diluncurkanpun adalah hasil keputusan produser. Ketajaman insting bisnis dan phisikologis pasar merupakan modal dasar pelaku bisnis ini, tampaknya produser sangat paham dengan konteks masyarakat, sehingga saluang dangdutpun dihantar mencapai puncak popularitas.

Saluang dangdut sangat populer ditengah masyarakat, terutama kalangan penggemar saluang klasik. Meskipun ada pro dan kontra dari kalangan seniman dan budayawan, tetapi tidak sedikit masyarakat yang mengagumi. Telah bertahun kaset dan CD nya beredar, sehingga dalam waktu yang singkat lahirlah beberapa komunitas penggemar musik ini.

Keinginan pecinta saluang dangdut untuk menghadirkan pertunjukan kesenian ini ke tengah masyarakat ditanggapi serius oleh berbagai kreator, sehingga lahirlah sanggar-sanggar baru yang khusus menyajikan pertunjukan saluang dangdut, berkali-kali mereka hadir memenuhi undangan sebagai hiburan di acara resepsi pernikahan maupun alek nagari (pesta rakyat). Sungguh suatu yang luar biasa, karya musik yang hanya disetting untuk musisi bersolo karier, mendapat gugatan dari pecintanya untuk diangkat menjadi seni pertnjukan.

Saluang Dangdut Sebagai Genre Baru pertunjukan Saluang

Saluang Dangdut dalam penggarapannya merupakan kerja arransemen atau penggubahan pola garap musik iringan, namun semua material musiknya adalah berasal dari lagu-lagu atau dendang yang terdapat pada saluang dendang klasik, terutama dendang dalam tempo cepat, jadi tidak semua dendang dalam saluang klasik dijadikan sebagai material saluang dangdut, Hampir semua lagu-lagunya sudah dikenal oleh masyarakat pecinta seni tradisi itu.

Biasanya dendang dalam pertunjukan saluang hanya diiringi oleh alat musik saluang saja, tetapi pada saluang dangdut kehadiran saluang tetap menjadi utama, namun kehadirannya didampingi oleh gendang dangdut, tamborin, senar drum dan simbal, organ tunggal serta gitar, pengaruh dari pola iringan ini juga berdampak besar terhadap karakter lagu.

Meskipun pertunjukan saluang dangdut telah mengalami perkembagan yang signifikan dalam penggarapan musiknya, namun kegelisahan seniman dan kreator selalu ingin membuat sensasi baru dalam pertunjukannya.

Alhasil pertunjukan yang berangkat dari kerja laborat ini sukses menjadi seni pertunjukan yang cukup menjanjikan masa depan. Penyajiannyapun didukung oleh banyak personil, terdiri dari 4 orang tukang dendang perempuan, dan 5 orang musisi, ditambah 4 sampai 5 orang penari perempuan sebagai penari latar.

Tingginya minat masyarakat terhadap pertunjukan saluang dangdut ini menjadi sebuah fenomena menarik di dalam konflik pro dan kontra masyarakat pendukung adat budaya Minangkabau. Saat ini saluang dangdut merupakan satu peluang bisnis baru dalam seni pertunjukan, sehingga di daerah Sumatera Barat kelompok-kelompok atau sanggar-sanggar saluang dangdut ramai tumbuh dan berkembang bagai jamur dimusim hujan. Ada beberapa grup saluang dangdut yang cukup terkenal di daerah ini saat ini, diantaranya:

1. Talang Sarumpun di Balanti Sikabu Lubuak Alung

2. Yunita Grup di Kuncia Solok

3. Sarunai Pilang di Gadut Payakumbuh

4. Pakiah Grup di Ibuah Payakumbuah

5. Mis Ramolai dkk

6. In Ladora Grup di Batu Balang Payakumbuh

7. Hasanawi dkk di Kuranji Padang

8. Jusnia dkk di Tabek Patah Batu Sangkar

9. Arneletis di Sungayang Batu Sangkar

10. Upiak Santan di Padang Gantiang Batusangkar

11. Lenggang Bisalo di Padangpanjang

Kehadiran saluang dangdut memang mengundang konflik dan tantangan dari kaum adat dan ulama, karena kehadiran penari latar merupakan cerminan yang kurang tepat dalam kontek budaya Minangkabau. Persoalan yang sangat signifikan adalah goyang dangdut yang dianggap kurang sopan.

Meskipun banyak konflik yang menyertai hadirnya kelompok ini, namun realita membuktikan bahwa saluang dangdut telah menampakkan elsistensinya dalam persaingan global industri musik. Dalam kajian teks dan konteks, seorang kreator tidak akan mampu memenuhi semua selera pasar, tetapi acuan yang pokok adalah besarnya animo masyarakat pendukung saluang dangdut tersebut. Selamat dan sukse untuk para kreator.